CERITA MOTIVASI 4
Kisah Kakek Penjual Amplop
Kisah nyata ini ditulis oleh seorang dosen ITB
 bernama Rinaldi Munir mengenai seorang kakek yang tidak gentar berjuang
 untuk hidup dengan mencari nafkah dari hasil berjualan amplop di Masjid
 Salman ITB. Jaman sekarang amplop bukanlah sesuatu yang sangat 
dibutuhkan, tidak jarang kakek ini tidak laku jualannya dan pulang 
dengan tangan hampa. Mari kita simak kisah “Kakek Penjual Amplop di ITB”.
Setiap menuju ke Masjid Salman ITB untuk shalat Jumat saya selalu 
melihat seorang Kakek tua yang duduk terpekur di depan dagangannya. Dia 
menjual kertas amplop yang sudah dibungkus di dalam plastik. Sepintas 
barang jualannya itu terasa “aneh” di antara pedagang lain yang memenuhi
 pasar kaget di seputaran Jalan Ganesha setiap hari Jumat. Pedagang di 
pasar kaget umumnya berjualan makanan, pakaian, DVD bajakan, barang 
mainan anak, sepatu dan barang-barang asesori lainnya. Tentu agak aneh 
dia “nyempil” sendiri menjual amplop, barang yang tidak terlalu 
dibutuhkan pada zaman yang serba elektronis seperti saat ini. Masa 
kejayaan pengiriman surat secara konvensional sudah berlalu, namun Kakek
 itu tetap menjual amplop. Mungkin Kakek itu tidak mengikuti 
perkembangan zaman, apalagi perkembangan teknologi informasi yang serba 
cepat dan instan, sehingga dia pikir masih ada orang yang membutuhkan 
amplop untuk berkirim surat.
Kehadiran Kakek tua dengan dagangannya yang tidak laku-laku itu 
menimbulkan rasa iba. Siapa sih yang mau membeli amplopnya itu? Tidak 
satupun orang yang lewat menuju masjid tertarik untuk membelinya. Lalu 
lalang orang yang bergegas menuju masjid Salman seolah tidak 
mempedulikan kehadiran Kakek tua itu.
Kemarin ketika hendak shalat Jumat di Salman saya melihat Kakek tua 
itu lagi sedang duduk terpekur. Saya sudah berjanji akan membeli 
amplopnya itu usai shalat, meskipun sebenarnya saya tidak terlalu 
membutuhkan benda tersebut. Yach, sekedar ingin membantu Kakek itu 
melariskan dagangannya. Seusai shalat Jumat dan hendak kembali ke 
kantor, saya menghampiri Kakek tadi. Saya tanya berapa harga amplopnya 
dalam satu bungkus plastik itu. “Seribu”, jawabnya dengan suara lirih. 
Oh Tuhan, harga sebungkus amplop yang isinnya sepuluh lembar itu hanya 
seribu rupiah? Uang sebesar itu hanya cukup untuk membeli dua gorengan 
bala-bala pada pedagang gorengan di dekatnya. Uang seribu rupiah yang 
tidak terlalu berarti bagi kita, tetapi bagi Kakek tua itu sangatlah 
berarti. Saya tercekat dan berusaha menahan air mata keharuan mendengar 
harga yang sangat murah itu. “Saya beli ya pak, sepuluh bungkus”, kata 
saya.
Kakek itu terlihat gembira karena saya membeli amplopnya dalam jumlah
 banyak. Dia memasukkan sepuluh bungkus amplop yang isinya sepuluh 
lembar per bungkusnya ke dalam bekas kotak amplop. Tangannya terlihat 
bergetar ketika memasukkan bungkusan amplop ke dalam kotak.
Saya bertanya kembali kenapa dia menjual amplop semurah itu. Padahal 
kalau kita membeli amplop di warung tidak mungkin dapat seratus rupiah 
satu. Dengan uang seribu mungkin hanya dapat lima buah amplop. Kakek itu
 menunjukkan kepada saya lembar kwitansi pembelian amplop di toko 
grosir. Tertulis di kwitansi itu nota pembelian 10 bungkus amplop surat 
senilai Rp7500. “Kakek cuma ambil sedikit”, lirihnya. Jadi, dia hanya 
mengambil keuntungan Rp250 untuk satu bungkus amplop yang isinya 10 
lembar itu. Saya jadi terharu mendengar jawaban jujur si Kakek tua. Jika
 pedagang nakal ‘menipu’ harga dengan menaikkan harga jual sehingga 
keuntungan berlipat-lipat, Kakek tua itu hanya mengambil keuntungan yang
 tidak seberapa. Andaipun terjual sepuluh bungkus amplop saja 
keuntungannya tidak sampai untuk membeli nasi bungkus di pinggir jalan. 
Siapalah orang yang mau membeli amplop banyak-banyak pada zaman 
sekarang? Dalam sehari belum tentu laku sepuluh bungkus saja, apalagi 
untuk dua puluh bungkus amplop agar dapat membeli nasi.
Setelah selesai saya bayar Rp10.000 untuk sepuluh bungkus amplop, 
saya kembali menuju kantor. Tidak lupa saya selipkan sedikit uang lebih 
buat Kakek tua itu untuk membeli makan siang. Si Kakek tua menerima uang
 itu dengan tangan bergetar sambil mengucapkan terima kasih dengan suara
 hampir menangis. Saya segera bergegas pergi meninggalkannya karena mata
 ini sudah tidak tahan untuk meluruhkan air mata. Sambil berjalan saya 
teringat status seorang teman di fesbuk yang bunyinya begini: 
“Kakek-Kakek tua menjajakan barang dagangan yang tak laku-laku, ibu-ibu 
tua yang duduk tepekur di depan warungnya yang selalu sepi. Carilah 
alasan-alasan untuk membeli barang-barang dari mereka, meski kita tidak 
membutuhkannya saat ini. Jangan selalu beli barang di mal-mal dan 
toko-toko yang nyaman dan lengkap….”.
Si Kakek tua penjual amplop adalah salah satu dari mereka, yaitu para
 pedagang kaki lima yang barangnya tidak laku-laku. Cara paling mudah 
dan sederhana untuk membantu mereka adalah bukan memberi mereka uang, 
tetapi belilah jualan mereka atau pakailah jasa mereka. Meskipun 
barang-barang yang dijual oleh mereka sedikit lebih mahal daripada harga
 di mal dan toko, tetapi dengan membeli dagangan mereka insya Allah 
lebih banyak barokahnya, karena secara tidak langsung kita telah 
membantu kelangsungan usaha dan hidup mereka.
Dalam pandangan saya Kakek tua itu lebih terhormat daripada pengemis 
yang berkeliaran di masjid Salman, meminta-minta kepada orang yang 
lewat. Para pengemis itu mengerahkan anak-anak untuk memancing iba para 
pejalan kaki. Tetapi si Kakek tua tidak mau mengemis, ia tetap kukuh 
berjualan amplop yang keuntungannya tidak seberapa itu.
Di kantor saya amati lagi bungkusan amplop yang saya beli dari si 
Kakek tua tadi. Mungkin benar saya tidak terlalu membutuhkan amplop 
surat itu saat ini, tetapi uang sepuluh ribu yang saya keluarkan tadi 
sangat dibutuhkan si Kakek tua.
Kotak amplop yang berisi 10 bungkus amplop tadi saya simpan di sudut 
meja kerja. Siapa tahu nanti saya akan memerlukannya. Mungkin pada hari 
Jumat pekan-pekan selanjutnya saya akan melihat si Kakek tua berjualan 
kembali di sana, duduk melamun di depan dagangannya yang tak laku-laku.
Mari kita bersyukur telah diberikan kemampuan dan nikmat yang lebih daripada kakek ini. Tentu saja syukur
 ini akan jadi sekedar basa-basi bila tanpa tindakan nyata. Mari kita 
bersedekah lebih banyak kepada orang-orang yang diberikan kemampuan 
ekonomi lemah. Allah akan membalas setiap sedekah kita, amiin.
 
 
 
          
      
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar